Religion

Adakah Doa Setelah Salat Fardu?
 
Dalam suatu pertemuan rutin, salah satu organisasi massa (ormas) Islam akan sosialisasi ke daerah tentang doa bersama yang mulai hilang usia salat berjamaah. Seorang pengurus yang hadir dalam diskusi pekanan ormas itu mengatakan bahwa saat yang paling dianjurkan berdoa adalah ketika selesai salat fardu. Menurutnya, tidak semua masyarakat hafal bacaan-bacaan doa, sehingga berdoa secara berjamaah sekaligus menjadi pendidikan bagi masyarakat awam dalam beribadah.




Pengurus yang lain pula menambahkan bahwa Allah akan mengabulkan semua doa yang diminta hamba-Nya. Maka, seperti salah satu sabda Rasulullah, ‘apabila imam menyebut amin, maka aminkanlah, karena sesungguhnya orang yang bersamaan aminnya dengan amin malaikat diampuni dosanya yang berlalu’. Doa bersama yang diaminkan secara bersama akan diaminkan pula oleh malaikat. Karena doa yang dilakukan bersama inilah seperti dalam hadis Nabi telah dijanjikan Allah akan diampuni dosa-dosanya. Nabi mengajarkan semuanya. Ada doa ketika berjamaah, ada pula doa untuk sendiri. Nah, konteksnya harus dibedakan, jangan pula ketika salat berjamaah, doanya sendiri-sendiri pula.

Memang, doa merupakan ibadah dalam Islam. Sebagaimana hadis riwayat Ahmad, Tirmidzi, Abu Daud, dan Ibnu Majah dari Nu’man bin Basyir dari Nabi, beliau bersabda, “Doa adalah ibadah.” Kemudian beliau membaca, “Dan Tuhanmu berfirman: "Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Aku perkenankan bagimu. Sesungguhnya orang-orang yang sombong dari beribadah kepada-Ku akan masuk neraka Jahanam dalam keadaan hina dina. (Q.S Al-Mu’min [40]: 60)

Karena doa ini adalah ibadah, maka kewajiban bagi setiap muslim untuk berhati-hati dalam melakukan segala kegiatan yang hukum asalnya memang ibadah, seperti doa ini. Telah jelas dalam kaidah bahwa ibadah itu asalnya adalah haram kecuali ada dalil yang memerintahkannya. Artinya, kita tidak boleh asal beribadah saja kepada Allah kecuali ada perintah tentang itu. Sangat berbeda dengan muamalat yang hukum asalnya adalah boleh sehingga ada dalil yang mengharamkannya. Contohnya riba, yang telah diharamkan Allah dalam Alquran dan melalui sunah (perkataan, perbuatan, atau ketetapan)  Nabi-Nya.

Dalam memakai dalil pun sebagai landasan ibadah, sangat penting bagi setiap pribadi muslim untuk benar-benar memilih dalil yang dipakai sebagai landasan ibadah. Jika itu dari Alquran, haruslah dipahami secara benar dengan tafsirnya. Sedangkan bila itu dalil dari sunah Nabi, tentu saja lebih teliti lagi untuk memastikan keabsahan periwayatan sunah tersebut memang benar-benar dari Nabi (sahih). Hal ini tidak lain dimaksudkan agar setiap ibadah itu, setelah ikhlas karena Allah semata juga sesuai dengan apa yang dicontohkan oleh Nabi sendiri. Sunguh merugi sekali bila ada orang yang tidak ikhlas beribadah dan menyalahi sunah Nabi.

Seperti hadis riwayat Bukhari dan Muslim dari Ummul Mukminin, Ummu Abdillah, Aisyah, ia berkata bahwa Rasulullah bersabda, “Sesiapa yang mengada-adakan sesuatu dalam urusan agama kami ini yang bukan dari kami, maka dia (dengan amalan yang diada-adakannya itu) tertolak". Dalam riwayat Muslim, “Sesiapa melakukan suatu amalan yang tidak sesuai dengan perintah (aturan) kami, maka dia (juga) tertolak”. Tentu tidak seorang pun menginginkan ketika telah berpayah-payah dalam ibadah, namun amalannya itu ditolak karena mengerjakan ibadah yang tidak ada perintah dan contohnya dari Nabi.

Dari riwayat yang sangat banyak, ada berbagai waktu dan keadaan yang dianjurkan untuk berdoa, di antaranya sepertiga malam terakhir, ketika sujud dalam salat, satu saat tertentu pada hari Jumat, antara azan dan ikamah, ketika perang bergolak, pada lailatulkadar, doa pemimpin yang adil, orang yang  sedang berpuasa, doa orang tertindas, saat berbuka puasa, doa untuk saudara sesama muslim, doa pada hari Arafah, saat turun hujan, ketika terbangun di malam hari jika sebelumnya tidur dalam keadaan suci dan zikir kepada Allah, dan akhir salat-salat yang diwajibkan.

Di antara sekian banyak waktu dan keadaan yang dianjurkan untuk berdoa tersebut, akhir salat-salat yang diwajibkan mempunyai pembahasan yang cukup panjang dan tersendiri dibanding dengan poin lainnya. Terlepas dari corak penilaian ulama mengenai kesahihan hadis dalam tema ini, juga beragam pendapat dalam memahami kata ‘dubur’ (akhir) dalam teks asli hadis Nabi yang berbahasa Arab, sebagian ulama memahami kata ‘dubur’ itu sebagai penghujung salat sebelum salat, dan ulama lain memaknai ‘dubur’ itu sebagai akhir salat setelah salam.

Yang dapat kita ambil inti sari dari beragam pendapat dalam hal ini, perlu kiranya untuk membedakan antara doa dan zikir terlebih dahulu. Zikir dan doa dalam banyak hal memang sering diartikan secara sama. Padahal keduanya bisa dibedakan dengan spesifikasi masing-masing. Doa yang bermakna seruan, panggilan, dan permohonan adalah bentuk zikir kepada Allah. Ini seperti lazimnya dengan doa-doa yang biasa dilafazkan. Akan tetapi, zikir yang bermakna ingatan atau sebutan khusus untuk lafaz-lafaz yang tidak berisi doa, tapi lebih kepada memuji-muji keagungan Allah seperti kalimah taibah.

Hubungan pembedaan antara zikir dan doa ini dengan pembahasan hadis-hadis tentang ‘dubur’ salat-salat yang diwajibkan adalah jika hadis itu berbicara mengenai doa, ‘dubur’ salat-salat yang diwajibkan dipahami dengan sebelum salam. Nabi bersabda, “Apabila salah seorang dari kalian selesai membaca tasyahud, maka mintalah perlindungan kepada Allah dari empat hal. Dengan mengucapkan, ‘ya Allah, sungguh aku meminta perlindungan kepada-Mu dari siksa jahanan, dari siksa kubur, dari fitnah kehidupan dan kematian, dan dari fitnah Almasih dajal.’” Tambahan di akhir hadis pada riwayat lain, “Kemudian dia berdoa untuk dirinya sendiri dengan doa yang dikehendakinya.”

Maka tampaklah dari hadis di atas penegasan Nabi setelah membaca tasyahud dan selawat untuk memohon (doa) perlindungan dari empat hal dan boleh memilih doa apa saja setelah itu--masih sebelum salam. Yaitu berlindung dari azab jahanam, azab kubur, fitnah kehidupan dan kemaian, serta fitnah dajal. Setelah itu, Nabi juga menganjurkan untuk memohon doa apa saja yang diinginkan.

Sedangkan apabila hadis-hadis itu menyinggung tentang zikir, ‘dubur’ salat-salat yang diwajibkan diartikan dengan setelah salam. Ahmad, Muslim, dan Abu Daud meriwayatkan hadis dari Abu Hurairah bahwa Nabi bersabda, “Sesiapa yang melakukan tasbih pada setia ‘dubur’ salat 33 kali, tamid 33 kali, takbir 33 kali, dan semuanya berjumlah 99.” Nabi besabda lagi, “Disempurnakan menjadi 100 dengan membaca ‘laa ilaaha illallaah wahdahu laa syariikalah lahul mulku wa lahul hamdu wa huwa ‘alaa kulli syai’in qadiir’, maka akan diampuni dosa-dosanya walau pun sebanyak buih di lautan.”

Walaupun demikian, ada kalimat zikir yang bermakna doa seperti istigfar. Ulama pun juga ada yang memakai kata doa tapi dengan maksud zikir, seperti hadis-hadis dalam Shahiih Al-Bukhaariy pada Kitaab Ad-Da’aawaat (Pembahasan Tentang Doa-doa) di Baab Ad-Du’aa’ Ba’d Ash-Shalaah (Bab Doa Setelah Salat) yang sering disimpulkan secara keliru oleh sebagian orang sebagai pembenaran tentang adanya doa setelah salat. Hanya saja, bila diteliti dengan seksama konteks hadis-hadis dimaksud, akan tampaklah bahwa zikir-zikir saat ‘dubur’ salat itu dilakukan setelah salam.

Seperti hadis dari Abu Hurairah, mereka (para sahabat) berkata, “Wahai Rasulullah, orang-orang kaya telah pergi membawa derajat-derajat yang banyak (keutamaan) dan nikmat-nikmat yang  tetap (abadi). Beliau bertanya, “Bagaimana bisa demikian?” Mereka menjawab, “Orang-orang kaya tersebut salat sebagaimana kami juga salat, mereka berjihad sebagaimana kami berjihad, dan mereka berinfak dari kelebihan-kelebihan harta mereka, sedangkan kami tidak mempunyai harta.

Beliau bersabda, “Tidakkah sudah kukabarkan kepada kalian dengan suatu perkara, kalian akan meninggalkan (jauh di belakang) orang-orang sebelm kalian dan kalian akan mendahului orang-orang yang datang setelah kalian. Tidaklah datang (mengalahkan) seseorang dengan semisal apa yang kalian datang (amalkan) dengannya, kecuali oleh orang yang (juga) datang dengan hal semisal. (Yaitu) kalian melakukan tasbih di ‘dubur’ setiap salat 10 kali, dan tahmid 10 kali, dan takbir 10 kali”. Artinya tasbih, tahmid, dan takbir yang merupakan kalimah taibah (zikir) tersebut dijadikan sebagai permohonan (doa) kepada Allah untuk memperoleh keutamaan-keutamaan orang kaya bagi mereka yang tidak memiliki harta (miskin).

Tidak pula bisa dijadikan dalil dalam ibadah seperti hadis yang dikemukakan oleh salah seorang pengurus sebagaimana disebutkan di awal tulisan bahwa Rasulullah bersabda, Rasulullah, ‘apabila imam menyebut amin, maka aminkanlah, karena sesungguhnya orang yang bersamaan aminnya dengan amin malaikat diampuni dosanya yang berlalu’. Ini adalah contoh kekeliruan yang fatal dalam mengutip dan memahami nas.

Bukhari sendiri yang meriwayatkan hadis itu memasukkannya ke dalam Kitaab Shifah Ash-Shalaah (Pembahasan Tata Cara Salat) pada Baab Jahr Al-Imaam Bi At-Ta’miin (Imam Mengeraskan Bacaan Amin). Pada bab sesudahnya, Bukhari meriwayatkan hadis lain yang merinci kapan bacaan amin itu ditempatkan. Dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah bersabda, “Jika imam membaca ‘ghairil maghdhuubi ‘alaihim wa laadhdhaalliin’, ucapkanlah oleh kalian, ‘aamiin’. Sesungguhnya siapa ucapan (amin)nya bersamaan dengan ucapan (amin) malaikat, akan diampuni dosa-dosanya yang telah berlalu.”


Jelas sekali hadis tersebut konteksnya apa karena dalil yang berupa hadis itu berhubungan dengan bacaan amin saat imam membaca fatihah dalam salat berjamaah yang imam menjaharkan bacaan ayatnya, seperti dalam beberapa salat fardu maupun salat sunah seperti Tarawih berjamaah. Hadis tersebut sama sekali tidak ada kaitannya dengan doa secara bersama-sama setelah salat fardu. Maka siapa yang berdoa sesudah salat fardu dan sacara bersama-sama pula, ia telah melakukan dua kekeliruan secara berturut-turut.

Pun tidak pula bisa dijadikan alasan bahwa doa secara bersama-sama setelah salat fardu ini sebagai pendidikan bagi masyarakat awan dalam beribadah. Selain karena tidak ada contohnya dari Nabi tentang doa setelah salat dan secara bersama-sama ini, terlalu banyak media pendidikan lain yang dapat dijadikan sebagai ajang pembelajaran masyarakat dalam beribadah. Mendistribusikan buku-buku doa yang masyhur dari Alquran dan sunah adalah cara paling ampuh untuk membendung ketidakhafalan masyarakat tentang doa.

Dengan demikian, gamblang sudah bahwa tidak ada doa setelah salat fardu. Sejauh ini pun belum ditemukan sunah Nabi yang menerangkan ataupun mengisyaratkan Nabi berdoa sesudah salat fardu seperti yang biasa oleh sebagian kaum muslimin yang membiaskan diri berdoa setelah salat fardu, sebab yang berjamaah itu ialah salatnya, bukan doa setelahnya. Bukankah salat itu sendiri berarti doa? Perhatikanlah bacaan salat dari semenjak takbir hingga diakhiri sebelum salam, hampir semuanya berisikan permohonan (doa) kepada Allah.

Sebagai penutup, dalam hal ini buku saku Hishn Al-Muslim dan Adz-Dzikr Wa Ad-Du’aa’ Min Al-Kitaab Wa As-Sunnah susunan Sa’id Bin Ali bin Al-Wahf Al-Qahthani sangat bagus dijadikan sebagai rujukan bagi siapa saja yang ingin memiliki buku kecil namun dengan referensi lengkap tentang sumber pengambilan setiap zikir dan doa yang sering dipakai sehari-hari. Sehingga bacaan-bacaan doa dan zikir yang dibaca bisa terjamin bahwa memang demikianlah contoh yang diberikan oleh Nabi. Tidak seperti kebanyakan buku-buku doa yang memuat bacaan-bacaan doa dan zikir yang tidak jelas rujukannya.

(taken from notes in facebook account "Wahid Munfarid")

Tidak ada komentar:

Posting Komentar