Quarantine



Sejarah Badan Karantina Pertanian

Terminologi “karantina” berasal dari bahasa Latin “QUARANTA” yang berarti empatpuluh. Istilah tersebut lahir sekitar abad XIV, ketika penguasa di Venezia menetapkan batas waktu yang diberlakukan untuk menolak masuk dan merapatnya kapal yang datang dari negara lain, untuk menghindari terjangkitnya penyakit menular. Awak kapal dan penumpangnya diharuskan untuk tinggal dan terisolasi di dalam kapal selama 40 hari, untuk mendeteksi kemungkinan terbawanya penyakit.
Sejarah telah berulangkali membuktikan bahwa hama atau penyakit pada makhluk hidup, termasuk hewan dan tumbuh-tumbuhan, dapat menular dari satu wilayah ke wilayah Negara lain melalui lalu lintas manusia atau benda-benda yang menjadi media pembawa. Untuk hama dan penyakit hewan, penularannya dapat terjadi melalui lalu-lintas hewan dan produk-produknya, organisme pengganggu tumbuhan dapat menyebar melalui tanaman hidup dan bagian tanaman.

Sejarah Karantina Pertanian di Indonesia telah diawali sejak jaman penjajahan Hindia Belanda, hal ini diawali dengan adanya penyebaran penyakit karat daun kopi yang disebabkan oleh Hemileila vastatrix di Srilangka. Pemerintah kolonial menyadari bahwa pada saat itu perkebunan kopi di Indonesia merupakan sumber utama pendapatan. Menyadari akan ancaman penyakit tersebut maka pemerintah berusaha keras mencegah penyebaran penyakit tersebut ke Indonesia. Sebagaimana diketahui Areal perkebunan kopi berkembang luas, khususnya di Jawa, sejak Gubernur Jenderal Van den Bosch memperkenalkan Sistem Tanam Paksa ( Cultuurstelsel ) pada tahun 1832. Bertitik tolak dari kecemasan Hindia Belanda terhadap penyakit kopi, lahirlah Ordonansi 19 Desember 1877 (Staatsblad No.262) yang melarang pemasukan tanaman kopi dan biji kopi dari Srilanka. Ordonansi tersebut merupakan pertama kali yang dikeluarkan pemerintah Hindia Belanda dalam bidang perkarantinaan tumbuhan di Indonesia.

Beberapa waktu setelah terbitnya Ordonansi pertama, terbit Ordonansi baru yaitu Ordonansi 28 Januari 1914 (Staatsblad No.161) yang mengatur tentang pengawasan terhadap pemasukan buah-buahan segar dari Australia yang dilakukan oleh seorang ahli. Penyelenggaraan kegiatan perkarantinaan secara institusional di Indonesia secara nyata baru dimulai oleh sebuah organisasi pemerintah bernama Instituut voor Plantenzekten en Cultures (Balai Penyelidikan Penyakit Tanaman dan Budidaya) Pada saat yang bersamaan dapat diketahui bahwa di daerah bagian barat Ausatralia sedang terjangkit hama lalat buah (Mediteranean Fruitfly) atau dikenal dengan nama latin Ceratitis capitata. Dari ordonansi inilah dibentuk organisasi penyelenggaraan kegiatan perkarantinaan secara konstitusi bernama Instituut voor Platenziekten en Cultures (Balai Penyelidikan Penyakit Tanaman dan Budidaya).

Pada tahun 1930 pelaksanaan kegiatan operasional karantina di pelabuhan-pelabuhan diawasi secara sentral oleh Direktur Balai Penyelidikan Penyakit Tanaman dan Budidaya, serta ditetapkan seorang pegawai Balai yang kemudian diberi pangkat sebagai Plantenziektenkundigeambtenaar (pegawai ahli penyakit tanaman)
Akan tetapi sejak tahun 1939 organisasi karantina yang melaksanakan operasional karantina tumbuhan mengalami perkembangan dan perubahan. Pada tahun tersebut telah ditetapkan Dinas Karantina Tumbuh-tumbuhan (Plantequarantine Dienst) yang menjadi salah satu Seksi dari Balai Penyelidikan Hama dan Penyakit Tanaman (Instituut voor Plantenziekten). Berdasarkan Keputusan Menteri Pertanian tahun 1957 Dinas Karantina Tumbuh-tumbuhan ditingkatkan statusnya dari status Seksi menjadi status Bagian.

Pada tahun 1957 dengan Keptusan Menteri Pertanian, dinas tersebut ditingkatkan statusnya menjadi Bagian.
Pada tahun 1961 BPHT diganti namanya menjadi LPHT (Lembaga Penelitian Hama dan Penyakit Tanaman) yang merupakan salah satu dari 28 lembaga penelitian dibawah Jawatan Penelitian Pertanian. Sebagai kelanjutan kegiatan perkarantinaan pasca kemerdekaan, pemerintah menetapkan Undang-undang No. 2 Tahun 1961 tanggal 17 Februari 1961 (Lembaran Negara Nomor. 9/1961) serta Peraturan Pelaksanaan Nomor. 6/PMP/1961 dan Nomor. 7/PMP/1961 yang ditunjukkan kepada Direktur Lembaga Pengawetan Alam, Kebun Raya Bogor. Adapun pelaksanaannnya dilakukan oleh senior karantina tumbuhan sebelum era TC Inspektur Karantina Tumbuhan Ciawi Bogor.

Tahun 1966 dalam reorganisasi dinas karantina tumbuhan tidak lagi ditampung dalam organisasi Lembaga Pusat Penelitian Pertanian (LP3) yang merupakan penjelmaan LPHT. Kemudian Karantina menjadi salah satu Bagian di dalam Biro Hubungan Luar Negeri Sekretariat Jenderal Departemen Pertanian.
Pada tahun 1969, status organisasi karantina tumbuhan diubah kembali dengan ditetapkannya Direktorat Karntina Tumbuh-tumbuhan yang secara operasional berada dibawah Menteri Pertanian dan secara administratif dibawah Sekretariat Jenderal. Dengan status Direktorat tersebut, status organisasi karantina tumbuhan meningkat dari eselon III menjadi eselon II.

Perkembangan organisasi karantina selanjutnya adalah dengan ditetapkannnya Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor. 178/Kpts/Org/4/1973 tahun 1973 tentang pemberian kewenangan dari Jawatan Pertanian Rakyat kepada Direktorat Karantina Tumbuh-tumbuhan.
Pada tahun 1974 organisasi karantina diintegrasikan dalam suatu wadah Pusat Karantina Pertanian di bawah pengawasan Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Seiring dengan perkembangan era Orde Baru, organisasi Direktorat Karantina Tumbuhan diubah menjadi Pusat Karantina Pertanian dengan dibentuk cabang Karantina Tumbuhan di seluruh Indonesia dengan status non struktural.

Tahun 1980 berdasarkan Keputusan Menteri Pertanian No.453/Kpts/Um/Org/6/1980 tahun 1980 dan 861/Kpts/OT-210/12/1980 tanggal 21 Desember 1980, organisasi Pusat Karantina Pertanian (yang notabene baru diisi karatina tumbuhan ex Direktorat Karantina Tumbuhan), mempunyai rentang kendali manajemen yang luas. Pusat Karantina Pertanian pada masa itu terdiri dari 5 Balai (eselon III), 14 Stasiun (eselon IV), 38 Pos (eselon V)dan 105 Wilayah Kerja (non structural)yang tersebar diseluruh Indonesia.

Pada tahun tahun 1983 unsur Pusat Karantina Pertanian yang terdiri atas karantina tumbuhan dan hewan diintegrasikan. Selain itu status sebelumnya di bawah pengawasan Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian dialihkan kembali ke Sekretaris Jenderal dengan pembinaan operasional secara langsung di bawah Menteri Pertanian. Sementara Karantina Ikan yang masih embrio terus berproses menjadi Bidang Karantina Ikan pada Kantor Pusat Karantina Pertanian.

Pada tahun 1985 Direktorat Jenderal Peternakan menyerahkan pembinaan unit karantina hewan, sedangkan Badan Litbang Pertanian menyerhkan pembinaan unit karantina tumbuhan, masing-masing kepada Sekretariat Jenderal Departemen Pertanian.

Di bidang peraturan perundangan tanggal 8 Juni 1992 adalah yang monumental dan hari yang tidak terlupakan, karena Presiden Republik Indonesia menandatangani Undang-Undang No.16 tahun 1992 Tentang Karantina Hewan, Ikan dan Tumbuhan. Perkembangan di bidang legislasi terus berlanjut dengan terbitnya Peraturan Pemerintah (PP) No. 82 tahun 2000 tentang Karantina Hewan dan kemudian lahir PP No. 14 tahun 2002 tentang Karantina Tumbuhan.

Selanjutnya pada 1995-1996 reorganisasi lingkup Departemen Pertanian, Pusat Karantina Pertanian kembali dipindah ke Eselon I lain yaitu Badan Agribisnis. Setelah melalui masa reformasi yang sulit dan transisi yang terus berlanjut melalui perjalanan panjang, berliku dan pasang surut; pada tanggal 27 September 2001 Karantina Ikan diserahterimakan ke Departemen Kelautan dan Perikanan, masa tersebut diakhiri dengan terbitnya Keputusan Presiden No.58 tahun 2001 menyatakan lahirnya Badan Karantina Pertanian unit Eselon I a di Departemen Pertanian.

Tahun 2001 dapat dianggap sebagai tahun tonggak sejarah bagi perkembangan organisasi karantina pertanian Indonesia. Berdasarkan Keppres Nomor. 58 tahun 2001 Karantina Pertanian telah berkembang menjadi Unit Eselon I di lingkungan Departemen Pertania. Di tahun-tahun sebelumnya dapat diketahui bahwa perkembangan organisasi karantina melalui perjalanan yang panjang, berliku dan melewati pasang surut, kini institusi karantina pertanian berada pada posisi yang sangat strategis, yakni sebagai unit eselon I di lingkup Departemen Pertanian.

Pelaksanaan ketentuan karantina pertanian pada tempat-tempat pemasukan dan pengeluaran di Indonesia, akan menyumbangkan peningkatan rasa percaya diri dari konsumen baik di dalam maupun di luar negeri. Penyempurnaan organisasi Badan Karantina Pertanian dilakukan berdasar Peraturan Menteri Pertanian No.299 /tahun 2005 dengan penambahan Pusat Informasi dan dan Keamanan Hayati sebagai salah satu unit eselon II, sedangkan Pusat Tehnik dan Metoda dihilangkan.

Sejak keluarnya Keputusan Menteri Pertanian No. 22 tahun 2008 Badan Karantina Pertanian melalui reorganisasi melakukan fusi karantina hewan dan tumbuhan menjadi Karantina Pertanian, yang dilanjutkan dengan Keputusan Menteri Pertanian No. 808/Kpts/KP.330/6/2008 tentang pengangkatan dalam jabatan struktural Unit Pelayanan Teknis dari Balai Besar, Balai, Stasiun Karantian Pertanian mewujudkan integrasi penggabungan karantina hewan dan tumbuhan dalam kerangka operasional di lapangan.

Karena itu kalau kita ingin mencari “ starting point “ lahirnya “ KARANTINA “ di negeri ini, tahun 1877 tersebut dapat menjadi suatu patokan. Menurut Thaib Dano, sejarah karantina suatu Negara umumnya diawali dari keluarnya peraturan perundang-undangan tentang karantina yang pertama di negeri tersebut. Di antara Negara-negara di dunia, Ordonansi yang dikeluarkan pemerintah Hindia Belanda tahun 1877 tersebut termasuk tua serta terdokumentasikan dalam sejarah perundang-undangan karantina yang diterbitkan APHIS-US Department of Agriculture.

Institusi karantina ( hewan maupun tumbuhan ) dibentuk dengan tujuan mencegah agar hama dan penyakit hewan “asing” dari luar negeri tidak menulari ke dalam negeri serta mencegah penularannya antar wilayah di dalam negeri. Sebagaimana diketahui “eksplosi” suatu hama dan penyakit hewan maupun organisme pengganggu tumbuhan dapat menimbulkan akibat yang signifikan bagi produksi hasil pertanian dan peternakan. Beberapa ahli pernah membuat suatu perkiraan bahwa kerugian tahunan akibat serangan hama, pathogen dan gulma pada tanaman perkebunan saja berkisar 13,8% (hama), 11,6% (pathogen) dan 9,5% (gulma). Cukup banyak contoh data kerugian yang disebabkan keganasan hama dan penyakit hewan dan organisme pengganggu tanaman. Pada abad ke XV, selama kurun waktu 50 tahun, penyakit ” Sampar Sapi ” ( Rinderpest ) di Eropa menimbulkan kematian sekitar 200 juta ekor sapi.

Merupakan hal yang penting bahwa produk pertanian dan pangan Indonesia yang akan memasuki perdagangan internasional harus sesuai dengan standar Sanitary and Phytosanitary Measures (SPS) dan persyaratan keamanan pangan yang diminta oleh pasar dunia.

Studi menyimpulkan bahwa bagi negara-negara yang kurang atau belum menerapkan standar SPS, memberikan risiko akan akses pasar, sehingga akan menyulitkan persaingan dan potensi pengembangan perekonomian yang didasarkan pada ekspor produk pertanian terutama pangan.

Penyelenggaraan karantina saat ini berbeda dengan sebelumnya yang tidak hanya mencakup pencegahan penyebaran Hama Penyakit Hewan Karantina (HPHK) dan Organisme Pengganggu Tumbuhan Karantina (OPTK); tetapi juga menyangkut Keamanan Pangan, Lingkungan dimana didalamnya tedapat komponen Keanekaragaman Hayati.

Dengan berdirinya Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade Organization) pada tahun 1995 dengan aturan-aturannya yang diterapkan pada perdagangan komoditas pertanian, kesehatan tanaman telah menjadi isu kebijakan pokok dalam perdagangan. Persetujuan SPS menetapkan persyaratan-persyaratan, berdasarkan asas ilmiah dan penilaian risiko, untuk melindungi industri pertanian dari HPHK dan OPTK, saat yang sama juga memfasilitasi perdagangan komoditas pertanian termasuk kemungkinan larangan dengan ketentuan harus transparan dan secara teknis ilmiah dapat dipertanggung jawabkan.

Annex A defenisi SPS menjelaskan fungsi karantina ditempatkan dalam fungsi pertama. Fungsi Karantina dilaksanakan dengan melakukan tindakan karantina, yaitu melakukan pemeriksaan, pengasingan, pengamatan, perlakuan, penolakan, pemusnahan dan pembebasan terhadap komoditas sebagai media pembawa HPHK dan OPTK. Dari sisi operasional yang juga berdasarkan hukum internasional, karantina
pertanian sebagai salah satu sistim operasional Custom, Immigration, and Quarantine (CIQ) di setiap pintu masuk dan keluar termasuk pos perbatasan sebagai pelaksana law enforcement terhadap pengawasan lalu lintas komoditas dengan berdasar peraturan baik nasional maupun internasional.

(Karantina.deptan.go.id)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar